Surakarta, 17 Juni 2025 - Di tengah realitas masyarakat yang kian kompleks, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) UIN Raden Mas Said Surakarta diberi ruang untuk merenung dan bertanya ulang: apakah semua tradisi lokal selaras dengan nilai-nilai Islam? Apakah kita sudah cukup kritis dalam memahami makna di balik kebiasaan yang kita warisi? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menjadi napas dalam kegiatan Pembekalan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang digelar pada Rabu pagi, 18 Juni 2025, pukul 09.00 hingga 11.30 WIB di Gedung Mini Theater P2B UIN Raden Mas Said Surakarta.
Mengangkat tema “Pemikiran Teologi Kontekstual: Upaya Membaca Ulang Tradisi Keberagaman Masyarakat Perspektif Islam Rasional”, kegiatan ini menyuguhkan pendekatan reflektif yang menyatukan kepekaan sosial dan ketajaman nalar. Alih-alih menolak mentah-mentah atau langsung menerima suatu tradisi, mahasiswa diajak untuk melakukan pembacaan ulang, sebuah proses memahami ulang praktik budaya secara kontekstual dan kritis, lalu menimbangnya melalui prinsip-prinsip Islam yang rasional dan universal.
Narasumber acara ini adalah Anangsyah Effendi Zaqlulpasya, M.E., S.H., M.H., seorang stakeholder AFI sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qurok Boyolali. Dalam pemaparannya, ia menekankan pentingnya keberanian intelektual dalam memahami tradisi secara rasional, tanpa kehilangan empati terhadap akar sosial masyarakat. Menurut beliau, Islam rasional adalah jalan tengah yang memungkinkan kita untuk tetap berpijak pada wahyu, namun tidak abai terhadap konteks.
Konsep Islam rasional yang dibahas dalam sesi ini merujuk pada pendekatan keagamaan yang mengedepankan dalil aqli dan naqli, kemaslahatan, dan penolakan terhadap taqlid buta. Kehadiran Islam bukan untuk menolak tradisi, tetapi untuk menyaring dan meluruskan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Mahasiswa pun diajak memahami keberagaman sebagai sunnatullah, kehendak ilahi yang menuntut kita untuk saling mengenal, bukan saling menghakimi. Tradisi seperti selametan dan larung laut menjadi contoh studi kasus dalam forum ini. Jika nilai yang terkandung adalah doa dan silaturahmi, maka tradisi itu bisa dijaga. Namun jika ada unsur magis yang bertentangan dengan tauhid, maka harus diluruskan dengan cara yang bijak dan dialogis.
Tujuan akhirnya sederhana, namun mendalam: menjaga harmoni sosial, menyaring nilai-nilai luhur, serta membangun masyarakat yang beradab tanpa mencabut akar budayanya. Dengan akal sehat dan sikap moderat, Islam dapat menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah.
Sebagai penutup, pembekalan ini menegaskan bahwa membaca ulang tradisi bukan untuk menolak masa lalu, melainkan untuk merumuskan masa depan yang lebih selaras dengan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan. Inilah kontribusi nyata mahasiswa AFI: menjadi suluh di tengah kebingungan, dan menjadi penyambung nalar di antara keyakinan dan kehidupan.